Catatan dari EW ke-21 (4): Mencoba Menemukan Kembali Esensi Bisnis Berkelanjutan

 

Oleh: Frangky Selamat

Sesungguhnya di awal pertemuan panitia, topik Entrepreneur Week (EW) ke-21 mencoba mengangkat  topik mengenai bisnis yang berorientasi pada ESG (Environmental, Social, Governance). Bisnis yang berdampak positif terhadap lingkungan, sosial dan memperhatikan tata kelola yang beretika. Bisnis yang berorientasi pada ESG ini seyogianya dapat mencapai serangkaian tujuan dalam SDGs (Sustainable Development Goals) yang berjumlah 17.

Mungkin terdengar muluk ketika mahasiswa yang baru belajar merintis bisnis diminta untuk memikirkan dan merancang bisnis yang memiliki sasaran ideal. Namun tiada salahnya juga karena mahasiswa adalah cikal bakal pebisnis dan pemimpin dunia, yang harusnya telah dibekali dengan pengetahuan dan wawasan yang mumpuni demi kesejahteraan hidup manusia, tidak cuma di Indonesia, juga dunia.

Di awal pengarahan kepada para mahasiswa, Prodi Sarjana Manajemen, telah menunjukkan sebuah tulisan yang telah dimuat di detik.com pada 11 Februari 2025, agar dibaca, dipahami dan direfleksikan, sebagai bekal ketika berproses menciptakan model bisnis yang diharapkan.

Judul tulisan itu adalah: “Menemukan Esensi Bisnis Berkelanjutan” yang kebetulan ditulis oleh Kaprodi Sarjana Manajemen. Berikut kutipan tulisannya:

Seorang pengusaha muda berkisah mengenai investor yang kurang tertarik mendanai bisnisnya lantaran dianggap terlalu idealis. Baginya kontribusi bisnis adalah memberikan manfaat bagi masyarakat dengan memberikan solusi atas problem yang dihadapi. Terlebih dengan kondisi bumi yang tidak semakin baik-baik saja. Memperhatikan lingkungan dan keberlanjutan menjadi elemen penting dalam tata kelola usaha yang sehat.

Menurutnya investor “Cuma” menaruh perhatian pada kapan bisnis akan kembali modal atas investasi yang ditanam dan kapan mulai ublic untung. Banyak yang mungkin tidak peduli pada misi sosial yang diemban namun memberi perhatian lebih pada aspek komersial atau keuntungan semata.

Sesungguhnya tidak ada hal yang baru dari penuturan sang pengusaha ublici. Hakikat bisnis yang sejati adalah dapat memberikan solusi atas problem yang dihadapi konsumen. Jika tidak mampu sepenuhnya menghilangkan problem, setidaknya dapat mengurangi “tantangan” dan “halangan” yang kerap kali “mengganggu” aktivitas konsumen. Bisnis yang mampu memberikan itu niscaya akan menghadirkan keberlanjutan (sustainability) dalam jangka panjang.

Namun seperti layaknya dinamika kehidupan, tidak semua “problem” itu dapat diberikan solusi atau membutuhkan solusi, karena sejumlah alasan, dan dibiarkan “as business usual”. Maka pengusaha perlu sadar betul bahwa problem yang dihadapi konsumen atau masyarakat memang menghadirkan peluang untuk diberikan solusi, dan memberikan dampak dalam jangka menengah bahkan panjang.

Setidaknya terdapat empat pertimbangan bahwa problem layak dipertimbangkan untuk diberikan solusi dan memberikan peluang bisnis untuk berkembang.

Pertama, problem tersebut cukup membuang waktu, sumber daya dan energi, yang signifikan bagi konsumen. Artinya, ada kalanya konsumen masih “memaklumi” dan menganggap kesulitan yang dihadapi adalah hal biasa dan tidak perlu diberikan “solusi”. Ini bisa terjadi karena tidak yakin bisa diberikan solusi dan masih sanggup menghadapinya. Jika demikian, bisa jadi problem tidak menjadi peluang.

Pebisnis justru harus membangun kesadaran bahwa masalah yang dianggap “biasa” itu akan berdampak dalam jangka panjang, tidak dapat dibiarkan dan harus diberikan solusi komprehensif.

Edukasi terus-menerus tentu akan memakan biaya dan membutuhkan intervensi dari regulator. Pebisnis yang berpikir jangka pendek tentu akan mundur teratur sebelum melangkah lebih jauh mewujudkan solusi.

Kedua, mempertimbangkan sejauh mana solusi yang ditawarkan dapat menghilangkan atau memecahkan masalah. Solusi yang ditawarkan tidak selalu dapat menghilangkan masalah sepenuhnya. Jika dapat mengurangi tantangan yang dihadapi konsumen, secara berangsur memberikan dampak bagi kehidupan masyarakat, produk atau jasa yang ditawarkan pasti akan segera diterima konsumen. Kontroversi seputar produk baru seperti penolakan, dapat dihindari.

Ketiga, mempertimbangkan apakah produk atau jasa yang ditawarkan dapat menciptakan tambahan masalah. Jika satu masalah dianggap penting oleh konsumen dan pebisnis dapat menawarkan produk atau jasa yang solutif, efek selanjutnya harus diperhitungkan.

Pemanfaatan energi terbarukan, walaupun lebih ramah lingkungan karena nol emisi pada kendaraan listrik, tentunya harus mempertimbangkan limbah baterai yang sudah tidak terpakai, agar tidak menciptakan masalah baru.

Terakhir, patut dipikirkan, mengapa belum ada pihak lain yang menawarkan pemecahan masalah. Jangan-jangan dianggap tidak menguntungkan atau pernah ada yang menawarkan tetapi gagal, dan belum ditemukan lagi solusi yang lebih tepat. Atau momentum yang telah terlewat dan faktor eksternal yang tidak mendukung. Studi kelayakan yang komprehensif patut dilakukan lebih cermat.

Kategori masalah

Ketika sebuah masalah telah diidentifikasi, selanjutnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori (Kim & Mauborgne, 2017).

Pertama, masalah itu sudah ada sejak lama, tetapi ditawarkan solusi baru. Biasanya pebisnis memberikan tawaran berupa teknologi terkini atau fitur-fitur tambahan yang lebih kekinian.

Kedua, masalah lama yang kembali didefinisikan kembali dan memberikan alternatif solusi baru. Ketika mal sebagai pusat belanja dipertanyakan keberadaannya sejalan dengan makin berkembangnya online shop, terungkap motivasi konsumen datang ke mal tidak melulu untuk berbelanja, tetapi mencari hiburan.

Sejumlah mal berbenah diri memberikan penawaran berbeda, menyediakan sarana interaksi sosial dan ruang publik yang lebih luas. Pengunjung pun senang. Ketika mereka senang, aktivitas berbelanja dapat didorong lebih kuat.

Ketiga, mengidentifikasi dan memecahkan masalah baru atau meraih satu kesempatan baru. Di masa lalu sebuah perusahaan menawarkan cara menggoreng kentang tanpa harus menggunakan minyak, namun dengan rasa yang tidak kalah lezat. Minyak goreng yang digunakan, apalagi berkali-kali, dianggap tidak sehat dan menjadi sumber penyakit.

Di Indonesia, sebuah produsen mi instan pada tahun 1980-an menawarkan cara membuat mi goreng tanpa harus menggoreng, karena dianggap tidak praktis dan merepotkan. Cukup merebus dan memberikan bumbu, kecap plus minyak, dan hasilnya sungguh nikmat, tidak kalah dengan mi goreng yang digoreng.

Sekarang pun telah banyak produsen yang menawarkan kerupuk yang tidak digoreng tetapi diproses dengan alat khusus, dan tentu menawarkan rasa yang sungguh enak.

Identifikasi masalah dan peluang baru ini, otomatis menciptakan pasar baru. Menghindari persaingan langsung dengan “pemain” yang telah eksis sebelumnya. Pebisnis dapat menikmati keuntungan, tanpa harus “berdarah-darah” karena bersaing harga dan menekan biaya produksi.

Akhirnya, dinamika hidup memang penuh dengan masalah yang dihadapi konsumen. Dalam situasi ekonomi apapun, dari bagus, apalagi tidak baik-baik saja, problem selalu ada. Maka peluang bisnis pun selalu ada bagi pebisnis yang cerdas membaca “tanda-tanda” meraih kesempatan emas.

Yang perlu dilakukan adalah mencoba “menyelami” masalah lebih dalam dan dalam lagi, hingga menyentuh dasar yang esensial, sambil memanfaatkan momentum yang pas. Inilah awal sebuah bisnis akan menuai keberlanjutan

Selanjutnya, bagaimana dengan rancangan model bisnis mahasiswa dengan keluaran produk yang mereka pamerkan dalam acara EW ke-21 yang baru saja dilaksanakan pada 3-8 Juni 2025 lalu? Mungkin masih jauh panggang dari api. Terlepas dari segala upaya yang telah dijalankan, apresiasi harus diberikan kepada mahasiswa.

Namun refleksi atas cita-cita ideal harus terus diupayakan dan diwujudkan. Lembaga pendidikan adalah tempat persemaian “bibit-bibit” pemimpin, bisnis dan nonbisnis, untuk melahirkan organisasi yang “berkesadaran” (conscious). Upaya itu harus diusahakan, tanpa henti dan lelah.

 

Berita Terbaru

Agenda Mendatang

 

24

Mei

Hari Raya Waisak

25

Mei

Wisuda ke-83 Untar

27-29

Mei

Rapat Kerja Untar 2024

1

Juni

Hari Lahir Pancasila

31

Juli

Batas Akhir Pendaftaran Mahasiswa Baru